Rabu, 29 Oktober 2008

Tiga Tugas Para Ulamak

Tiga Tugas Utama

Allah menuntut para ulama hidup di tengah kenyataan dan kesulitan ummatnya, bukan malah membangun hak-hak istimewa bagi diri dan keluarganya

Yang membuat para ulama disebut sebagai pewaris para Nabi adalah karena para ulamalah penerus utama pekerjaan kerasulan. Rumusan tugas itu diterangkan langsung oleh Allah dalam ayat berikut:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنْ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ(157)
"Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang mereka dapatkan namanya tercantum di sisi mereka dalam Taurat dan Injil, yang memerintahkan yang ma'ruf, melarang hal yang munkar, menghalalkan segala yang baik (at-thayyibaat) dan mengharamkan yang khabaaits (berasal dari setan), melepaskan dari mereka beban dan belenggu-belenggu mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, yang mendukungnya, yang menolongnya, dan yang mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, orang-orang itulah yang berbahagia." (al-A'raaf: 157)
Menurut ayat di atas, ada tiga missi utama para rasul, pengikut dan penerusnya.

Tugas pertama
Tugas amar ma'ruf nahi munkar. Mengajak manusia kepada kebenaran merupakan tugas yang tidak ringan, apalagi tugas memperingatkan dan membetulkan orang yang berbuat munkar. Lebih berat lagi jika kemunkaran itu mendapat dukungan dari para penguasa. Dalam kaitan ini para Ulama dituntut untuk tetap berkata yang haq sebagai haq, di manapun posisi mereka. Apakah dalam posisi dekat dengan kekuasaan atau dalam posisi jauh dari kekuasaan? Dalam kaitan ini, berlakukah sabda Rasulullah:
افضل الجهاد كلمة حق امام سلطان الجائر
"Jihad paling utama adalah menyampaikan perkataan yang adil di hadapan penguasa yang zhalim dan kejam." (HR ath-Thusi dan as-habussunan)

Tugas kedua
Menjelaskan kepada ummat tentang halal dan haram. Tentu saja para ulama terlebih dahulu harus paham benar tentang syari'at Islam sehingga mereka tidak terjebak pada kebodohannya atau selera pribadinya. Kedangkalan ilmu dan sempitnya wawasan seringkali menjadi kendala bagi para ulama untuk menyampaikan masalah-masalah syari'ah, khususnya dalam hal halal dan haram. Namun begitu, nafsu pribadi yang tak terkendali juga justeru akan membuat kedalaman ilmu dan keluasaan wawasan menjadi sia-sia.

Tugas ketiga
Para Nabi yang diwariskan kepada ulama, membebaskan manusia dari beban penderitaan, baik berupa beban politik, ekonomi, maupun beban social lainnya. Banyak ulama yang merasa telah cukup ketika ia sudah berkhotbah di mimbar, mengajak orang berbuat baik dan mencegah yang mungkar, menjelaskan tentang thaharah, mandi junub, shalat, puasa, zakat, dan hajji. Mereka puas ketika masjid masjid sudah banyak dipenuhi jama'ah saat mereka berceramah. Padahal tugas da'wah tidak cukup hanya di situ. Ada tugas yang lebih berat lagi, yaitu membebaskan manusia dari beban penderitaannya.
Selama masih ada gubuk-gubuk reyot yang dihuni oleh para gelandangan, selama masih ada fakir miskin yang meminta-minta, selama masih banyak anak yatim yang tidak terurus secara benar, selama masih banyak anak-anak putus sekolah karena kekuarangan biaya, selama itu pula tugas ulama untuk membebaskannya. Tidak bisa disebut sebagai ulama jika mereka tak peduli atas nasib sesamanya.
Dengan tugas yang teramat berat itu menuntut para ulama berkiprah di dunia nyata. Allah menuntut para ulama hidup di tengah kenyataan dan kesulitan hidup ummatnya, bukan bersembunyi di balik istana-istana yang dibangunnya. Ulama mestilah sosok pemimpin yang paling dekat dengan rakyatnya, tidak minta diistimewakan, tidak pula membangun hak-hak istimewa bagi dirinya dan keluarganya. Hidup bersama dan berjuang bersama mereka. Ulama itu dicintai dan mencintai ummatnya. Dalam posisi seperti itu, para ulama mempunyai pengaruh yang amat besar. Pengaruhnya yang besar itu tak jarang dijadikan modal untuk terjun di bidang politik. Secara kebetulan, Islam tidak mengharamkan ulama berpolitik, bahkan dalam posisi-posisi tertentu, berpolitik itu menjadi suatu keniscayaan.

Tiada ulasan: